Tugas Pekabaran Injil merupakan tugas yang diamanatkan langsung oleh Yesus, mula-mula kepada para murid-Nya dan kemudian menjadi tugas dari seluruh orang percaya di muka bumi(Mat 28:19-20). Khusus bagi GKI di Tanah Papua, Pergumulan pekabaran Injil di medan Pekabaran Injil merupakan sebuah tongkat estafet yang diterima setelah 101 tahun PI dikerjakan oleh para zendeling dalam rangka menjawab pergumulan orang Papua dahulu, kini dan masa yang akan datang. Pergumulan demi pergumulan yang di alami gereja GKI di medan Pekabaran Injil, baik dari aspek internal gereja seperti kurangnya tenaga pendeta/penginjil yang bekerja di daerah pos-pos pekabaran injil, minimnya fasilitas penunjang kerja, biaya operasional yang tidak memadai dan taraf hidup penginjil yang masih jauh dari standard hidup layak, menjadi tantangan yang sangat besar bagi GKI di Tanah Papua. Sementara aspek eksternal, seperti keadaan geografis yang sulit dijangkau, cuaca yang ekstrim dan masyarakat suku-suku terasing yang masih terus ditata dan diinjili, serta "pencurian domba" yang terus-menerus dilakukan oleh pihak-pihak lain telah menjadikan gereja Tuhan ini bekerja dalam tantangan-tantangan yang maha berat. Pertnyaan kita adalah, mengapa hal ini bisa terjadi?
Cobalah kita renungkan sejenak, dewasa ini, warga GKI di Tanah Papua yang lahir dari perjuangan Pekabaran Injil itu kini hampir-hampir telah melupakan tugasnya sebagai “Gereja yang Injili” di Tanah Papua. Semangat ber-PI praktis "mati" bila dibandingkan dengan masa para zendeling dulu. Tapi, semangat yang mati itu mengapa tetap mati?
Keadaan sesungguhnya yang nampak di mata kita, bahwa sebagian pekerja-pekerja di kebun anggur Allah (khususnya para pendeta di jemaat-jemaat kotawi) kurang "menghidupkan" semangat ber-PI itu dalam diri jemaat-jemaatnya. Khotbah-khotbah yang disuarakan dari atas mimbar-mimbar GKI di Tanah Papua sangat minim menekankan pentingnya melakukan tugas pekabaran injil. Disamping itu, semangat untuk menghimpun dana demi menopang pekerjaan PI di medan Pekabaran Injil pun tidak berjalan baik. Kalaupun ada, biasanya bersifat insidentiil saja. Kadang ada yang berpikir bahwa setoran persepuluhan 100% ke sinode itu sudah cukup untuk menjawab pergumulan pekabaran Injil. Akhirnya yang nampak adalah, tiap-tiap orang hampir-hampir hanya hidup dalam dunianya sendiri tanpa mengingat akan rekan-rekannya yang sedang bergumul di medan PI. Bagi yang sedang hidup dalam keadaan “aman” hampir-hampir melupakan mereka yang hidup dalam keadaan “tidak aman”. Hal ini telah mengakibatkan kesulitan dan penderitaan dalam berbagai aspek kehidupan senantiasa dialami oleh mereka yang hidup di daerah-daerah yang sulit, baik sulit dari sisi letak geografis maupun sulit dari sisi yang lain ; ekonomi, keuangan dan lain sebagainya di medan PI.
Namun, bila kita dapat menerapkan slogan "menangis bersama yang menangis dan tertawa bersama yang tertawa", maka mungkin tantangan-tantangan besar di medan PI dapat kita lalui bersama (diminimalisir) agar tidak menimbulkan kecemburuan bagi yang sementara sedang bertugas di medan-medan pekabaran Injil. Agar Nyanyian Rohani 155:1-3 “Suara Yesus Kudengar” (Tema sentral PI GKI di Tanah Papua) dapat dinyanyikan bersama di antara yang menangis dan yang tertawa.
Akhirnya, marilah kita semua (para pendeta dan jemaat) berkomitment dan bertindak untuk melakukan apa saja dalam rangka menumbuhkan semangat ber-PI ke medan PI. Moga-moga apa yang kita kerjakan, sekalipun itu kecil dapat menolong pergumulan gereja yang kita cintai ini.
0 komentar:
Posting Komentar